GAMBIR

Toru
3 min readNov 6, 2020

Ketika kau memintaku untuk menjemputmu di stasiun Gambir, aku langsung bergegas. Jakarta sedang hujan. Aspalnya diguyur air sampai deras. Aku mendengar di berita-berita, status siaga banjir sudah diumumkan. Aku harus segera berangkat sebelum benar-benar terperangkap di jalan. Lagipula, dari sekian banyak hari, kenapa kamu memilih untuk pulang hari ini? Kenapa harus di Gambir?. Kamu tahu betapa menyusahkannya harus membawa motor butut Honda Satria Fit-ku dari Lenteng Agung sampai ke sana. Belum lagi di tengah hujan begini kemungkinan mogoknya akan bertambah. Tapi tenang saja, aku sudah sediakan satu setel jas hujan untukmu, kalau-kalau saat perjalanan pulang kita nanti hujan belum juga reda.

Kamu tahu, terakhir kali aku menjemputmu di Gambir entah kapan aku lupa itu hujan juga turun sama derasnya. Saat itu aku lewat Pasar Minggu dan terjebak banjir di depan Halte Busway Pertanian. Beruntung saat itu aku tidak membawa motor butut Honda Satria Fit-ku itu. Kalau tidak pasti sudah mogok terendam. Saat itu aku pinjam motor Mas Baim. Tapi untuk hari ini, kamu tidak bisa protes. Salahmu sendiri mengabari tiba-tiba. Aku tidak sempat meminjam motor lagi dari Mas Baim. Lagipula dia sekarang sudah tidak menetap di Jakarta. Ia harus balik ke kampungnya di Magelang, diseret oleh istri tuanya di kampung sana setelah ketahuan menyimpan istri simpanan di Jakarta. Kasian.

Tapi kamu belum cerita kepadaku kenapa kamu pulang hari ini. Apa kamu dipecat dari pekerjaanmu? Apa kamu kangen kepadaku? Hm, untuk yang ini sepertinya tidak. Karena boro-boro kangen, sekalipun kamu tidak pernah membalas chat-ku. Lantas apa? Apa kamu ingin menjual rumahmu? Apa kamu hamil di luar nikah? Yang pasti siap-siap saja kamu diinterogasi seberondong pertanyaan yang selama ini sengaja kusimpan dan siap untuk dikeluarkan ketika kamu beneran pulang.

Tapi kenapa harus di Gambir?

Motorku ini tidak bisa mengebut di atas 55 km/jam. Akinya sudah soak, kalau lampunya dinyalakan masih kurang kelihatan. Aku mungkin akan telat sampai di sana. Tapi kenapa kamu tidak memesan saja ojek atau taksi online? Huh, yang ada nanti pasti kamu bilang: makanya aku pesan kamu. Mentang-mentang sekarang aku harus banting setir narik ojek online, bukan berarti aku bisa jadi ojek pribadimu yang bisa kamu order seenaknya di tengah hujan deras begini. Lagipula hari ini aku sudah niat untuk tidak keluar cari orderan. Melihat ramalan cuaca hari ini, aku sudah siap-siap berleha-leha di kosan sambil menikmati hujan. Kopi dan gorengan sudah siap, tinggal pasang playlist lo-fi non stop tiga jam dari youtube hingga aku tertidur pulas. Aktivitas ideal untuk hari sabtu tanpa kerjaan di akhir pekan.

Lalu tiba-tiba sms-mu datang. Sms. Siapa yang masih mengirim pesan melalui sms di zaman sekarang kalau bukan menawarkan pinjaman? Itu pun akun bodong. Kenapa kamu tidak chat via whatsapp? Sms-mu pun isinya hanya berbunyi: Aku sampai di gambir hari ini jam 3. Boleh tolong jemput? Pesan apaan tidak pakai assalamualaikum. Tidak pakai basa-basi langsung sambar bagai petir di siang bolong. Tidak pakai sapaan Mas. Rupanya kamu memang sudah lupa ya? Sudah lupa sama suamimu ini yang kamu tinggalkan (dari sejak kapan aku lupa, aku tidak mau mengingat) untuk kabur dengan pria brengsek mantan bosku itu? Ya tentu saja kamu lupa. Tapi aku senang kamu masih ingat nomorku.

Kamu tahu? Yang jelas satu pertanyaan yang pertama kulontarkan ketika bertemu kamu nanti: Kenapa harus di Gambir? Kamu tahu betapa menyusahkannya harus membawa motor butut Honda Satria Fit-ku dari Lenteng Agung sampai ke sana. Belum lagi di tengah hujan begini kemungkinan mogoknya akan bertambah. Tapi tenang saja, aku sudah sediakan satu setel jas hujan untukmu, kalau-kalau saat perjalanan pulang kita nanti, hujan belum juga reda.

Dan pertanyaan kedua: Kenapa kamu kembali?

--

--

Toru

laut yang cemas berlindung pada ombak yang ganas